Batu, sebuah bongkahan,
benda mati, yang keras susah dihancurkan. Kerasnya batu ini biasa orang
analogikan dengan sifat human yang terkadang cuek dengan
sesuatu, tidak mau mendengarkan siapapun, atau susah berubah dengan keadaan
apapun. Dan perkenalkan, saya, Mentari ini adalah salah satu bongkah batu
tersebut, --kata orang.
Terkadang saya mendapat
komentar miring mengenai pembawaan yang katanya sedikit batu. Bukan tanpa
alasan, kecenderungan saya yang tidak pernah memberi perhatian berlebih
terhadap siapapun, membuat mereka khususnya teman-teman menganggap saya
bersifat batu. Nah loh, mau-mau saya dong, perhatian kan tidak mesti
diperlihatkan. Saya pikir setiap orang punya cara tersendiri untuk perhatian
kepada teman atau seseorang.
Selama ini, saya merasa
perhatian yang mereka tak lihat itu ada disini (Baca: hati). Komunikasi dari
hati ke hati bisa membuat kita tahu mana perhatian yang sebenarnya. Tidak perlu
panjang dan lebarlah untuk mendefinisikan perhatian yang tulus dari dalam hati
yang ajaib tak terlihat itu.
Dari banyaknya manusia
yang datang dan pergi dalam hidup saya, saya kerap menemukan manusia ajaib
tersebut yang cenderung menyukai perhatian tak terlihat. Dari mereka juga saya
belajar, bahwa tak perlu dengan menunjukkan berbagai macam hal untuk
membuktikan bahwa kita menyayangi seseorang. Diam, memperhatikan ia bicara
mungkin termasuk salah satu bentuk perhatian tak terlihat. Menceritakan lelucon
aneh bahkan nonsense ke teman yang sedang bad mood, menurut
saya juga salah satu bentuk perhatian. Yang jelas, jangan mengungkit hal yang
membuat ia terluka. Sekarang, sisi batunya dimana?
Di lain kasus, yang
masih berperihal bebatuan. Masih tentang hal yang membuat teman-teman
terheran-heran melihat kebatuan kelas kakap saya. Dua bulan ini, saya tertimpa
musibah yang cukup sedih juga jika diceritakan. Kalau untuk yang sudah kenal
saya terus membaca tulisan ini pasti sudah tahulah, apa kedua musibah itu. Saya
sedang tidak ingin curhat bahahah (jadi dari tadi itu apa?).
Padahal sejujurnya, sebongkah
batu ini cukup trauma, terlebih dengan sedikit goresan di tangan, kenangan dari
musibah tersebut. Tapi pembawaan saya yang masih ceria, kesana-sini maccalla, memberi
mereka kesimpulan bahwa saya masih batu yang belum insyaf. Seolah mati rasa.Tapi
sampai kapanpun saya tidak terima, saya tidak mati rasa, dan sekali lagi saya bukan
batu.
Kenapa masih hebatko maccalla? sudahko itu kena musibah ee
Mau mauku dong, maccalla itu sehat.
Sholat tobatko dek
Kalau ini Subhanallah, makasih sarannya kak, saya
memang mungkin harus lebih mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa.
Batuko memang
Buuukaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete